Friday, October 30, 2015

KESALAHAN BERPIKIR DIAJARKAN DI SEKOLAH-SEKOLAH



Konsep pemikiran terdahulu mengatakan, untuk mencari agama tertua, kita harus mencari suku-suku tertua yang masih hidup di dunia. Apa yang diyakini suku tertua tersebut itulah agama yang mereka anut. Jika kita menemukan suku yang menyembah fenomena alam sebagai komunitas primitif di bumi, maka agama yang dianutnya sebagai yang paling kuno.

Dengan konsep berpikir ini, sebagian besar masyarakat percaya bahwa agama paling tua di dunia adalah agama yang mengakui kekuatan pada fenomena alam, seperti animisme, dinamisme, dan politeisme. “Pola berpikir ini dipengaruhi oleh kultur ilmiah yang telah mendidik kita untuk memusatkan perhatian hanya kepada dunia fisik dan material yang hadir dihadapan kita”. (Amstrong, 2013). Manusia lebih sadar pada apa yang mereka lihat secara fisik dan material, dan tidak sadar bahwa lebih banyak hal-hal ghaib yang ada disekitarnya.

Konsep pemikiran lain adalah agama yang dianut manusia mengikuti perkembangan zaman. Auguste Comte membagi zaman menjadi tiga fase yaitu teologis, metafisis, dan positif. Comte berpendapat bahwa asal usul fase teologis bermula dari fetisisme, diikuti politeisme, dan berakhir pada monoteisme. (Taslaman, 2010).

Dengan teori ini, Comte seolah-olah ingin berpendapat bahwa keberagamaan manusia hanya berada pada fase teologis yang terbagi menjadi tiga fase yaitu fetisisme, politeisme, dan monoteisme. Selanjutnya, setelah masyarakat meyakini agama monoteis, secara bertahap masyarakat akan beralih ke masa metafisik, dan akhirnya menjadi masyarakat positif, dimana sains mengambil alih agama.

Pola pikir diatas telah diajarkan di sekolah-sekolah berabad-abad di dunia Barat, hingga sampai ke bangku sekolah kita mulai dari tingkat usia dini sampai perguruan tinggi. Belum sepenuhnya disadari bahwa kita sedang mengajarkan generasi kita menuju masyarakat positif yang dicita-citakan oleh Comte, yaitu masyarakat yang meninggalkan kepercayaan kepada Tuhan, menjadi masyarakat yang hanya percaya kepada kebenaran fisik dan material.

Dari pola pikir di atas, disimpulkan bahwa masyarakat yang percaya pada Tuhan adalah masyarakat primitif yang terbelakang berabad-abad tahun lalu. Muncul stigma negatif bahwa mereka yang masih percaya Tuhan dianggap kuno, dan tidak akan bisa hidup sesuai dengan perkembangan zaman. Kenyataannya seolah-olah dibenarkan oleh kondisi kaum agamawan aliran anti keduniawian yang tampil miskin dan penuh kesederhanaan. Pola hidup ini semakin tidak diminati oleh generasi-generasi muda yang sudah diajarkan hidup dengan kemewahan, kemudahan, dengan penerapan berbagai macam teknologi. Kalau tidak Atheis, generasi Barat memilih Agnostik. Pengaruh ini mulai ke kita melalui berbagai saluran seperti pendidikan. Tanda-tandanya mulai dengan meninggalkan nilai-nilai kebenaran yang bersumber dari Tuhan (wahyu), menggantinya dengan teori-teori ilmiah hasil dari penelitian yang meyakini kebenaran dari apa yang dilihat secara fisik dan material.

Pemikiran sekuler yang melihat dunia sebagai entitas terpisah, ikut membenarkan bahwa antara tipe masyarakat satu dengan lainnya hidup berdasarkan karakteristiknya masing-masing. Oleh karena itu masyarakat teologis seolah-olah terpisah dari masyarakat ilmiah.

Inilah kesalahan berpikir yang diajarkan di sekolah-sekolah secara turun temurun berabad-abad. Kini setelah dunia mengalami krisis, kerusakan alam dan kemiskinan merajalela, menyebarnya penyakit mematikan akibat hubungan seks bebas, dan turunnya kualitas moral masyarakat, mulailah muncu kesadaran. Telah terjadi kesalahan berpikir, sehingga manusia terlepas dan mengabaikan keberadaan Tuhan. Pengetahuan yang bersumber dari Tuhan tidak dijadikan sebagai sumber pengetahuan untuk dipikirkan dan dianggap sebagai khayalan, layaknya mitos dan cerita legenda.

KEMBALI KE JALAN BENAR

Karen Amstrong (2013) dalam bukunya, “Sejarah Tuhan”, telah membantu meluruskan kita ke jalan yang benar bahwa pada mulanya manusia meyakini satu Tuhan sebagai sebab pertama dari segala sesuatu dan penguasa langit dan bumi. Pendapat Amstrong didasari oleh teori yang dipopulerkan oleh Wihelm Schmidt dalam buku The Origin Of The Idea of God, yang terbit tahun 1912. Schmidt menyatakan bahwa telah ada suatu monoteisme primitif sebelum manusia mulai menyembah banyak dewa. Pada awalnya mereka mengakui hanya ada satu Tuhan Tertinggi, yang telah menciptakan dunia dan menata urusan dunia.

Caner Taslaman (2010) mempertegas bahwa kebanyakan agama dunia hanyalah versi menyimpang dari monoteisme. Penuhanan terhadap alam penyebab lahirnya konsep Tuhan monoteis, adalah tidak masuk akal, karena sebelum orang menjadikan kekuatan alam sebagai tuhan, orang tersebut terlebih dahulu harus sudah mengenal “Tuhan”.

Logisnya, penyimpangan terhadap agama monoteisme menjadi politeisme, seiring dengan perjalanan waktu, karena manusia memvisualisasikan Tuhan dengan metafora. Jalan pikirannya seperti berikut, “Tuhan adalah pencipta, dia seperti ibuku.”, “Tuhan adalah segala sesuatu, Dia bagaikan bumi”.   Itu sebab lahirnya agama politeisme.

Selanjutnya dalam setiap tahapan sejarah, sudah ada gagasan satu Tuhan. Pada setiap tahapan sejarah selalu terjadi, agama monoteisme ditentang oleh penyembah bulan atau matahari. Pada zaman sekarang, agama monoteis mendapat penentangan dari kaum komunis atau positivis. Pada akhirnya penentang monoteis selalu mengalami kegagalan, dan keyakinan pada satu Tuhan bertahan selamanya.

Jadi gambaran perubahan masyarakat secara evolusi yang dikemukakan oleh Comte, sudah tidak relevan lagi. Setiap tahap-tahap sejarah, masalah teologis selalu mewarnainya bukan suatu yang terpisah seperti yang disangkakan kaum evolusionis.

Penulis punya kesimpulan baru bahwa perjalanan hidup manusia mengikuti sebuah siklus, silih berganti, atau timbul tenggelamnya agama monoteisme dengan politeisme. Ujung dari siklus ini adalah monoteisme. Diprediksi pada pada abad sekarang sebagai masa redup dari agama politeisme, dan segera akan mulai muncul kesadaran masyarakat untuk kembali kepada agama monoteisme.

Pemilik keyakinan terhadap agama monoteisme, tidak lagi akan dianggap sebagai masyarakat tertinggal dan kuno. Sebaliknya masyarakat berperadaban akan dicirikan sebagai masyarakat dengan keyakinan terhadap agama monoteisme. Wallahu ‘alam.

(Muhammad Plato, Penulis Buku Hidup Sukses Dengan Logika Tuhan. Follow @logika_Tuhan)

Sunday, October 25, 2015

IBU BAPAK BUKAN ALLAH



Tulisan ini bertujuan saling mengingatkan, karena ada kasus orang tua yang membajak ayat Tuhan dengan memosisikan dirinya sebagai Tuhan. Memaksa anak-anaknya melakukan sesuatu di luar kemampuan. Membebani anak-anaknya memenuhi keinginannya di luar kemampuan. Lalu orang tua mengancam layaknya Tuhan, dengan kutukan-kutukan yang sangat menyeramkan.

Orang tua itu lupa bahwa Tuhan tidak pernah memaksa. Orang tua itu lupa, bahwa segala sesuatu berada di atas kehendak Tuhan. Jika menginginkan sesuatu, seharusnya orang tua memaksa kepada Tuhan bukan kepada anak-anaknya.

Ada juga kasus, seorang anak berusaha melanggar perintah Tuhan demi untuk memenuhi keinginan orang tua. Alasannya takut melukai hati orang tua, dan tidak mendapat ridha Tuhan. Kemudian Dia berlaku tidak sabar, tergesa-gesa seperti setan, melukai orang-orang terdekatnya, membuat perselingkuhan, berdusta, tidak berani jujur, karena ingin memenuhi keinginan orang tua.
  
Benar! Ibu memiliki kedudukan tiga kali lebih tinggi dari Bapak. Benar! Kebaikan untuk anak-anak akan terhambat karena tidak ada restu dari orang tua terutama ibu. Benar! Posisi Ibu Bapak jadi penentu keberhasilan anak, dan telah ditetapkan Tuhan dalam Firman-Nya;

“...janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin ...Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; (Al An’aam:151).

Sekalipun kedudukan ibu menjadi penentu keberhasilan anak, namun perlu diwaspadai, kedudukan ibu, bapak, bukan sebagai Tuhan. Tugas anak terhadap ibu bapak adalah berbuat baik bukan taat, patuh, dan menyembah.

Perlu diingat juga, perintah berbuat baik bukan hanya kepada orang tua, tapi lihat ayat di atas, kepada kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Berbuat baik kepada kaum kerabat bukan hanya diukur dari hubungan darah tapi orang-orang baik yang ada di sekeliling kita. Karena kekeraban ada dua dasar yaitu hubungan darah dan hubungan baik. Jadi selain ibu bapak yang berhak mendapat pelakukan baik juga orang-orang baik disekeliling kita, termasuk anak-anak yatim, dan fakir miskin.

Lalu bagaimanakah cara berbuat baik kepada ibu bapak? Jika kita perhatikan kata perintah berbuat baik kepada ibu bapak (orang tua), berkaitan langsung (dituliskan satu redaksi) dengan kata-kata kerja sebagai berikut:


“kata-kata baik, shalat, zakat, memenuhi janji”. (Al Baqarah:83).
“jangan menyekutukan, jangan membunuh dan berbuat keji," (Al An’aam:151)
"Berkata mulia, jangan membentak," (Al Israa:23)
“berbakti” (Maryam:14).
“berjihadlah, Berserah diri, berpegang pada tali Allah” (Al Hajj:78)

Dari kata-kata yang terkandung dalam lima ayat di atas, tidak ditemukan perintah secara langsung kepada seorang anak untuk patuh, taat, kepada ibu bapak atau orang tua. Taat dan patuh hanya kepada Allah swt. semata. Allah adalah Pendominasi, Pengendali, Penentu, Penguasa, Raja, seluruh manusia. Tidak boleh ada yang mendominasi manusia selain Allah, sekalipun orang tua.

Perintah Allah kepada setiap anak adalah memperlakukan orang tuanya dengan baik atau berbakti dengan sebaik-baiknya. Berbuat baik dengan sungguh-sungguh (sesuai kemampuan), mulai dari berkata-kata mulia (agar bahagia), jangan membentak (agar tidak sakit hati), memenuhi janji kepadanya, memberi nafkah (sedekah sekalipun dengan doa), tidak membunuh, dan mendoakan (shalat).

Berlaku baik tidak sama dengan berlaku patuh atau taat kepada orang Tua. Mengikuti apa keinginan orang tua tidak dalam arti patuh, tetapi sebagai bentuk ketaatan anak kepada perintah Allah, bahwa anak harus berbuat baik pada ibu bapak.

Tidak semua keinginan orang tua harus dipenuhi. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an; “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. (Al Israa:23). Ayat ini memberi rambu-rambu agar jangan sampai menjadikan orang tua sebagai berhala, dan menolak keinginan orang tua jika mengarah pada prilaku menyekutukan Tuhan.

Berbuat baik dengan mengikuti segala keinginan orang tua, tentu harus mempertimbangkan kondisi dan kemampuan. Ketika keinginan orang tua mengarah pada praktek menyekutukan Tuhan, maka anak harus menolak dengan pilihan kata-kata mulia dan tidak menyakiti. Inilah kecerdasan yang harus dimiliki oleh seorang anak yaitu menolak dengan pilihan kata-kata mulia.

Ketika orang tua menginginkan sesuatu dari kita yang tidak bisa kita penuhi karena di luar kemampuan, katakan saja kepada mereka, “kita termasuk orang yang berserah diri kepada Allah”. Katakan pula, “bersabarlah, jika Allah menghendaki, niscaya apa yang kita inginkan akan terjadi, semua yang kita inginkan mengikuti ketentuan Allah”. Inilah kata-kata mulia yang harus diucapkan berulang-ulang seorang anak terhadap ibu bapaknya.

Jadi ukuran kata-kata mulia adalah kata-kata yang tidak mengandung penyekutuan, penentangan, terhadap kehendak Tuhan.  Kata-kata mulia adalah kata yang selalu mengarahkan anak dan orang tua kepada ketaatan, kepatuhan, dan kepasrahan kepada takdir Tuhan.

Tidak ada dosa bagi seorang anak yang belum bisa memenuhi keinginan ibu, bapaknya, karena ketidakmampuannya. Hendaklah anak-anak yang belum bisa memenuhi keinginan ibunya dengan berpegang teguh dan berserah diri kepada Tuhan. Berpegang teguh dengan memperbanyak shalat, dzikir, sedekah, puasa, (usaha bathin), dan usaha lahir.

Perbanyak shalat dengan melaksanakan shalat dhuha, tahajud, hajat, dll. Perbanyak dzikir, seperti baca 
Al-Qur’an, istgifar, shalawat, tahlil, tahmid, dll. Perbanyak sedekah dengan membantu kesulitan sesama manusia, tolong menolong, dan penuh harap kepada Allah swt (ikhlas). Ketentuan Allah swt, siapa yang paling banyak mengingat-Ku, Dia akan mendapat keberuntungan dari arah tidak disangka-sangka.

Jika mendesak, hiburlah orang tua dengan kata-kata mulia sebagai berikut, “untuk mewujudkan keinginan ibu, bapak, saya sedang melaksanakan shalat dhuha 12 rakaat tiap hari,  tahajud 11 rakaat setiap malam, setiap hari menyisihkan uang 2000 rupiah untuk membantu orang miskin, puasa sunah tiap senin dan kamis, dll.” Kemukakan kepada orang tua apa saja upaya-upaya yang telah kita lakukan di jalan Allah untuk mewujudkan keinginan orang tua, supaya orang tua terhibur. Selain itu kata-kata ini dapat mengingatkan orang tua, agar selalu memohon pertolongan kepada Allah, bukan memaksa kepada sesama manusia.

Hiburlah terus orang tua dengan kalimat-kalimat yang mengingatkan mereka kepada Allah, swt. Mudah-mudahan mereka sama-sama diberi kesadaran bahwa semua kehendak ada di tangan Allah, dan kita semua hanya bisa berusaha, dan berserah diri atas kehendak Allah swt. Semoga kita diberi kesabaran untuk selalu taat berada di jalan Allah.  Wallahu ‘alam.

(Muhammad Plato, Penulis Buku Hidup Sukses Dengan Logika Tuhan Follow: @logika_Tuhan).

Friday, October 23, 2015

ABAD EVERYMAN (SETIAP ORANG)



Saat ini adalah abad Everyman (setiap orang). Abad profesi telah berlalu. Adalah tugas setiap muslim-pria, wanita, atau anak-anak untuk terlibat (memahami dan menyebarkan kebenaran), sesuai dengan kemampuan masing-masing. (Deedat: 1999).

Abad everyman dilatarbelakangi oleh lahirnya serangkaian buku baru dengan tujuan membekali setiap pria atau wanita untuk mempelajari seni atau keterampilan seperti: pipa ledeng, barang pecah belah, bagian-bagian kayu dalam rumah, dan lain-lain dengan belajar di rumah. Dengan demikian tidak ada lagi tenaga-tenaga profesional, saatnya setiap orang bisa mengerjakan berbagai macam jenis pekerjaan, dengan belajar sendiri.

Faktor lain yang menunjang abad everyman adalah berkembangnya teknologi informasi. Dengan mudahnya akses internet melalui smart phone, tablet, laptop, dan berkembangnya berbagai macam media sosial, telah memudahkan setiap orang untuk mengakses berbagai macam informasi yang dibutuhkan. Informasi tentang hidup sehat, penyembuhan penyakit, resep masakan, resep kue, dan lain-lain, termasuk berbagai tafsir Al-Qur’an, hadist, aliran agama, bisa diakses oleh setiap orang.

Kini, telah terjadi demokratisasi pengetahuan. Semula pengetahuan terbatas milik kaum bangsawan. Pengetahuan hanya bisa didapat melalui lembaga-lembaga informal yang dianggap memiliki otoritas sebagai pemilik ilmu pengetahuan atau lembaga-lembaga formal yang disyahkan oleh penguasa. Kini pengetahun menjadi milik semua orang, maka dari itu kita tidak lagi mengenal spesialisasi, tanggung jawab bukan lagi ada dalam sebuah kelompok, tapi berada di individu-individu.

Ahmed Deedat ingin mengingatkan bahwa dalam beragama kadang-kadang kita lupa mana kebenaran dan mana prasangka. Dalam beragama kita sering terjebak pada prasangka karena kebiasaan yang telah terprogram sejak kecil oleh kebiasaan, atau tradisi. Karena prasangka sudah terprogram, didoktrinkan sejak kecil, maka bagaimanapun kebenaran dengan terang mereka tidak dapat menemukan kebenaran.

Dalam agama Kristen, mengimani kitab suci lebih utama dari pada memahaminya. Padahal pemahaman dapat meningkatkan keimanan. Dalam agama Hindu, hanya Brahmana sebagai strata tertinggi yang memiliki tugas untuk membaca dan mempelajari kitab suci. Golongan terendah yaitu Paria, jangankan membaca mendengarkan saja tidak boleh. Monopoli kaum Brahmana dalam membaca dan memahami kitab suci menjadi salah satu bentuk ketidakadilan yang diciptakan oleh agama.
  
Di abad everyman setiap orang memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan pemahaman keagamaannya dan bertugas menyampaikankannya kepada semua orang. Fasilitas itu tersedia melalui berbagai aplikasi teknologi inforamsi. Gerakan menyebarkan kebenaran bukan lagi gerakan kelompok, tapi gerakan semesta (gerakan semua orang).

Inilah pandangan Ahmed Deedat. Beliau mengemukakan setelah memahami kebenaran, tetapi banyak orang tidak mau memahaminya dengan alasan bertaklid kepada otoritas yang mereka percaya lebih tahu tentang kebenaran. Mereka telah diprogram untuk tidak tahu kebenaran diprogram untuk takut pada otoritas kelompok bukan pada Tuhan.

Islam adalah agama yang tidak mengenal otoritas sebuah kelompok dalam menafsirkan wahyu Allah. Hal yang dikenal dalam Islam adalah kewajiban untuk bermusyawarah dalam memutuskan suatu perkara. Jika tidak ada kesepakatan, tidak boleh mengakui diri paling benar tetapi menyerahkan semua keputusan nanti dihadapan Allah. Saling menghormati, saling memberikan kesempatan, adalah proses untuk menemukan kebenaran. Untuk itu ajaran agama Islam menghendaki terciptanya individu-individu cerdas dan taat pada Tuhan, bukan individu-individu yang manut, taat pada doktrin kelompok.

Di abad everyman, dibutuhkan individu-individu cerdas, yang mau memahami (membaca) kitab suci, menemukan kebenaran dengan haqul yaqin, mengimaninya, dan betanggung jawab mengajarkannya kepada seluruh umat manusia dengan menggunakan berbagai cara dan media. Individu-individu cerdas adalah mereka yang tidak mengklaim kebenaran sebagai milik pribadi tetapi milik Tuhan yang telah menciptakannya.

Tuhan memerintahkan untuk selalu memperbaiki diri masing-masing. Allah swt berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”. (Ar ra’d [13] : 11). Walahu’alm.
   
(Muhammad Plato, Penulis Buku Hidup Sukses Dengan Logika Tuhan. @logika_Tuhan)

Friday, October 16, 2015

TERAPI BERPIKIR AGAR SAKIT CEPAT SEMBUH



Dalam tulisan ini akan saya jelaskan bagaimana cara melakukan terapi agar sakit cepat sembuh. Terapi berpikir dengan menggunakan panduan dari Al-Quran dan Hadis. Kita yang muslim sudah pada tahu bahwa Al-Qur’an adalah obat. Hadis akan membantu kita untuk memahami Al-Qur’an. Berikut saya berikan beberapa terapi berpikir yang bisa kita lakukan ketika sakit.

Mohon perhatian, baca artikel ini harus sampai selesai dengan penuh konsentrasi, karena ini terapi berpikir. Agar bisa konsentrasi baca dengan tenang, ikhlas, dan berdoa minta diberi hidayah.  

SETELAH SAKIT PASTI DATANG SEMBUH

Jika kita hubungkan dengan hukum siklus, sakit adalah bagian dari siklus kehidupan yang harus dilalui oleh setiap manusia. Adanya siklus kehidupan diumpamakan oleh Allah di dalam Al-Qur’an, sebagai berikut:

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering) -nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; Sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. (Albaqarah:164).

Dalam ayat ini, siklus kehidupan diumpamakan seperti silih bergantinya malam dan siang, serta mati dan hidupnya bumi. Siklus ini adalah ketetapan Allah yang berlaku umum dalam setiap kehidupan.

Pola siklus ini bisa digunakan sebagai terapi berpikir. Ketika sedang sakit, ingat siklus pasangan dari sakit adalah sembuh. Maka sudah pasti ketika sakit akan datang masanya sembuh. Masa datangnya sembuh tergantung berat dan ringannya sakit.

Sambil menunggu siklus sembuh, disarankan untuk berobat. Lakukan pengobatan dengan berbagai macam cara yang dianjurkan dalam agama, seperti bersedekah, berobat ke dokter, berbekam, akupuntur, dll. Berobat tujuannya menguatkan doa yang kita lantunkan dengan tindakan.

Selama pengobatan, pikiran harus tetap berpatokan bahwa suatu saat siklus sakit akan digantikan oleh sembuh. Selama pengobatan, kita harus bersabar karena datangnya siklus sembuh butuh waktu. Ketentuan waktunya ada di tangan Tuhan. Maka berserah diri dan bersabar menanti datangnya ketentuan Tuhan di saat sakit dapat membantu proses penyembuhan dari sakit. Sambil ingat-ingat bahwa ketika bersabar, kita sedang menjadi kekasih Allah swt.

Cara berpikir  di atas, akan membawa suasana hati lebih tenang dan damai ketika sakit. Kondisi hati yang tenang dan damai, dapat membantu proses penyembuhan penyakit.

SETELAH SAKIT PASTI DATANG REZEKI

Dalam sebuah hadis dikatakan, “sakit adalah penggugur dosa”. Karena sakit penggugur dosa maka penyebab sakit adalah dosa. Sangat logis jika dosa dikatakan penyebab sakit, sebab dosa-dosa yang kita lakukan mengundang hal-hal  negatif yang tidak kita inginkan seperti sakit. Maka ketika kita berbuat dosa secara tidak sadar kita sedang mengundang hal-hal negatif yang tidak kita inginkan.

Tapi kenyataannya, tidak ada manusia yang luput dari dosa, jadi sakit adalah hal yang biasa dialami oleh semua orang. Jadi, ketika sakit santai saja. Masalahnya apa yang harus kita pikirkan ketika sakit?

Ketika sakit berpikirlah bahwa kita sedang dibersihkan dari dosa. Dalam kondisi bersih dari dosa, kita akan menarik hal-hal bersih yaitu rezeki. Maka dari itu bacalah bahwa sakit adalah cara Allah dalam memberikan kasih sayang-Nya kepada manusia.

Penulis sendiri mengalami, semua hal-hal baik didapat setelah melalui sakit. Seperti dapat motor, mobil, rumah, jabatan, ilmu, derajat, kemampuan, peningkatan keimanan, selalu di awali dengan sakit. 

Orang tua dahulu punya kepercayaan jika anak sakit, diyakini sebagai tanda bahwa anak tersebut akan mendapat kemampuan baru dalam hidupnya. Hal itu ternyata logis, jika dikaitkan dengan pengetahuan yang bersumber dari agama, bahwa sakit akan mengantarkan manusia kepada hal baru yang lebih baik. 

Maka dari itu, terapi berpikirnya adalah ketika sakit pahami bahwa itu adalah siklus yang pasti dilalui manusia ketika akan mendapatkan rezeki. Dengan berpikir siklus, “setelah sakit akan datang rezeki” maka perasaan (emosi) yang akan muncul adalah bahagia, dan optimis. Kondisi bahagia dan optimis akan membantu mempercepat proses penyembuhan penyakit.

JANGAN TAKUT MATI

Rata-rata hal yang ditakuti orang akibat dari sakit adalah kematian. Memang masuk akal, karena sudah banyak bukti, orang mati karena sakit. Nabi Muhammad saw sendiri, meninggal dunia salah satu sebabnya adalah sakit. Kondisi kesehatan Nabi Muhammad saw terganggu akibat racun yang dimakannya saat penaklukkan kaum Yahudi.

Kematian adalah kehendak Allah yang setiap orang pasti menemuinya. Sekarang atau nanti, semua orang pasti mati. Untuk itu kematian jangan ditakuti, sebab tidak ada manfaatnya, kecuali dengan mempersiapkan kematian dengan berbekal kebaikan. Dikisahkan dalam sejarah, orang-orang baik, para syuhada, mereka dengan optimis, gembira, menyongsong kematian.

Logisnya supaya tidak takut mati, ketika sakit, sunah Nabi Muhammad saw mengajarkan untuk mengobati penyakit dengan sedekah. Akibat sakit ada dua kemungkinan yaitu sehat kembali hidup di dunia atau mati untuk hidup di akhirat. Maka, mengobati penyakit dengan sedekah sama dengan mempersiapkan dua kemungkinan yaitu menyiapkan bekal hidup di dunia jika sehat lagi dan akhirat jika mati. Oleh karena itu, mengobati penyakit dengan sedekah sama dengan menghilangkan rasa takut terhadap mati.

Alasan kedua, di dalam hadis dijelaskan, “sakit adalah penggugur dosa”. Artinya ketika sakit kita sedang dibersihkan dari dosa. Masuk akal jika ketika menjenguk orang sakit berharap dapat doa dari yang sakit, karena dijelaskan dalam hadis, doa orang sakit mustajab. Loginya, hal yang membuat doa orang sakit mustajab adalah mereka sedang dalam kondisi teraniaya dan bersih dari dosa.

Dalam kondisi sakit, bersih dari dosa, jika kematian menjemput, mereka dapat dikatakan mati syahid, atau mati dalam keadaan suci dari dosa. Ketika mati dalam keadaan suci dari dosa maka syurga balasannya.

Kesimpulannya ketika kita sakit, supaya cepat sembuh, haruslah berpikir optimis karena setelah sakit akan datang sehat dan rejeki tidak disangka-sangka. Harus tetap optimis sekalipun mati bakal menjemput, karena mati dalam sakit sama dengan mati dalam kesucian yang akan dibalas dengan syurganya Allah. Kemudian, perkuat rasa optimis dengan mengobati sakit dengan cara sedekah. Wallahu ‘alam.

(Muhammad Plato, Penulis buku hidup sukses dengan logika Tuhan. @logika_Tuhan)